25 Mar 2009

Inilah Hidup!

Di jalan Godean aku pernah melihat seorang pencopet ketangkap basah mencuri sebuah handphone. Ia dihakimi massa hingga babak belur. Wajah garang para pengeroyok dan beringas seperti tanpa ampun. Mereka memukul dengan tangan kosong, tendangan, meludahi, dan menggunakan apa saja untuk menyakiti, seperti pentungan, potongan besi atau batu secara membabi buta. Seolah-olah sang pencopet bukanlah anak manusia. Seolah-olah dia bukan di lahirkan oleh seorang ibu dari rahim yang dirawat selama sembilan bulan lebih. Tak ada yang membayangkan bahwa dulu ia dan sama seperti kita pernah jadi anak kecil yang ditimang-timang dan dibesarkan selama puluhan tahun. Tak ada pula yang membayangkan bagaimana perasaan ibundanya melihat buah hatinya diperlakukan seperti itu. Atau bagaimana kalau orang itu ternyata punya anak, istri atau saudara-saudara di tempat lain. Bagaimana persaan mereka melihat perlakuan ini?

Ketika aku dan beberapa orang mencoba melerai, beberapa diantara mereka dengan kayunya dan dengan mata melotot berpaling ke arahku penuh tanya, seolah merasa terganggu dengan aktifitasnya. Pandangan itu hanya dalam beberapa detik, lalu kembali keaksi barbarnya. Namun tatapan mata mereka yang beberapa detik itu tiba-tiba membuat darah tersirap dan perasaan dialiri ketakukan seketika. Tak banyak yang dapat aku perbuat saat itu. Hanya melihat tetesan darah dan mendengar gebukan demi gebukan. Sesekali aku tak sengaja bertatapan dengan si pencopet, yang ternyata setengah baya, ini membuat darahku kembali tersirap, membayangkan apa yang ada dipelupuk matanya. Aku tak tahu apa yang dirasakannya, hanya aku terbawa rasa getir, ngilu, dan tubuhku serasa ikut sakit, terbayang istrinya, anaknya atau ibu yang telah melahirkannya, membayangkan perasaan mereka dan beribu perasaan lain, entahlah. Namun sulit juga menyalahkan para pengeroyok itu sepenuhnya, karena seperti kejadian di Jalan Kaliurang di sebuah toko handphone, yang juga kusaksikan sendiri, emosi masyarakat tampaknya semakin hari semakin meningkat, mungkin selain karena ekonomi, juga faktor psikologis di mana mereka geram karena selain merampok, para penjahat itu juga menyayat leher korban, dan berita semacam ini sudah teramat banyak. Di balik semua itu, sungguh sulit membayangkan kejadian-kejadian terakhir ini dan melupakan apa yang telah diperbuat para makhluk ciptaan Tuhan yang katanya derajatnya paling tinggi di muka bumi ini. Dan aku tiba-tiba seolah ingin protes pada Tuhan, yang tak kunjung mengirim para polisi.

Aku duduk merenung kata-kata Kahlil Gibran :
  • Karena tidak ada sehelai daun yang dapat menguning tanpa sepengetahuan seluruh pohon - meski ia tetap diam, demikian pula si salah tak dapat berbuat salah, tanpa keinginan nafsu sekalian umat manusia - walaupun terpendam.
  • Keadilan tidak dapat serta-merta dipisahkan dari kezaliman, begitu pula kebaikan dan kejahatan. Keduanya sama-sama tergelar di hadapan wajah matahari, sebagaimana benang tenun hitam dan putih suci bersama menganyam selembar kain. Sekali benang yang hitam terputus, maka seluruh peralatan tenun akan diperiksa. Apabila kalian hendak menghukum perempuan zina (orang bersalah), maka sertakanlah hati ayah-ibunya sebagai anak timbangan dan jiwa suaminya sebagai pita ukuran.
  • Dan apabila seorang akan menjatuhkan pidana atas nama hukum demi tegaknya keadilan, ketika mengayunkan kapak ke batang pohon yang dihinggapi setan, hendaklah dia melihat dahulu akar pohon itu - dan di sana ia akan mengetahui akar yang masih baik, akar yang sudah buruk, akar yang masih mengandung harapan serta akar yang sia-sia dan hanya berisi kemandulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar